AKHLAK
Makalah Akhlak
Islami
2.1 Pengertian
Akhlak
Kata “Akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun خُلُقٌ yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan
perkataan khalqun خَلْقٌ yang berarti kejadian,
yang juga erat hubungannya dengan khaliqخَالِقٌ yang berarti pencipta; demikian pula
dengan akhluqun
مَخْلُوْقٌ yang berarti yang diciptakan.
Secara
epistemologi atau istilah akhlak bisa diartikan berbagai perspektif sesuai
dengan para ahli tasawuf diantaranya :
Ibnu Maskawaih
memberikan definisi sebagai berikut:
حَالً
لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لهَاَ اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
“Keadaan jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.
Imam Al-Ghozali
mengemukakan definisi Akhlak sebagai berikut:
اَلْخُلُقُ
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلَافْعَالُ
بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍمِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
Akhlak ialah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah, dengan tidak memertrlukan pertimbangan pikiran(lebih dahulu)”.
Prof. Dr. Ahmad
Amin memberikan definisi, bahwa yang disebut akhlak “Adatul-Iradah” atau
kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang
berbunyi:
عَرَفَ
بَعْضُهُمْ اْلخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ اْلِارَادَةِ يَعْنِى أَنَّ اْلِإرَادَةَ
اِذَا اعْتَادَتْ شَيْأً فَعَادَتُهَا هِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ
Artinya:
“Sementara
orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan
itu dinakamakan akhlak.”
Makna
kata kehendak dan kata kebiasaan dalam penyataan tersebut dapat diartikan bahwa
kehendak adalah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang,
sedang kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah
melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan,
dan gabungan dari kekuatan dari kekuatan yang besar inilah dinamakan Akhlak.
Sekalipun
ketiga definisi akhlak diatas berbeda kata-katanya, tetapi sebenarnya tidak
berjauhan maksudnya, Bahkan berdekatan artinya satu dengan yang lain. Sehingga
Prof. Kh. Farid Ma’ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai
berikut:
“Kehendak
jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa
memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
2.2 Sumber dan
Ciri-Ciri Akhlak Islami
Persoalan
“Akhlak” di dalam islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al-Qur’n dan
Al-Hadits. Sumber tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan
sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi
informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan bagaimana harus
bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji
atau tercela, benar atau salah.
Kita
telah mengetahui bahwa akhlak islam adalah merupakan system moral/akhlak yang
berdasarkan islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada
nabi/Rasul-Nya yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya.
Memang
sbagaimana disebutkan terdahulu bahwa secara umum akhlak/moral terbagi atas
moral yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akhirat dan kedua
moral yang sama sekali tidak berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, moral ini
timbul dari sumber-sumber sekuler.
Akhlak
islam, karena merupakan system akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada
Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar daripada agama itu sendiri.
Dengan demikian, dasar/sumber pokok daripada akhlak islam adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama islam itu sendiri.
Dinyatakan
dalam sebuah hadits Nabi:
عَنْ
اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّةَ وَرَسُوْلِهِ
Artinya:
“ Dari Anas Bin
Malik berkata: Bersabda Nabi Saw: Telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua
perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat,
yaitu Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya”.
Memang tidak
disangsikan lagi dengan bahwa segala perbuatan/tidakan manusia apapun bentuknya
pada hakikatnya adalah bermaksud untuk mencapai kebahgiaan (saadah), dan hal
ini adalah sebagai “natijah” dari problem akhlak. Sedangkan saadah menurut
system moral/akhlak yang agamis(islam), dapat dicapai dengan jalan menuruti
perintah Allah yakni dengan menjahui segala larangan Allah dan mengerjakan
segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi
setiap muslim yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sehubungan
dengan Akhlak Islam, Drs. Sahilun A, Nasir menyebutkan bahwa Akhlak Islam
berkisar pada:
a.
Tujuan hidup setiap muslim, ialah menghambakan dirinya kepada Allah, untuk
mencapai keridhaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa
kini maupun yang akan datang.
b.
Dengan keyakinannya terhadap kebenaran wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya, membawa
konsekuensi logis, sebagai standard dan pedoman utama bagi setiap moral muslim.
Ia member sangsi terhadap moral dalam kecintaan dan kekuatannya kepada Allah,
tanpa perasaan adanya tekanan-tekanan dari luar.
c.
Keyakinannya akan hari kemuadian/pembalasan, mendorong manusia berbuat baik dan
berusaha menjadi manusia sebaik mungkin, dengan segala pengabdiannya kepada
Allah.
d.
Islam tidak moral yang baru, yang bertentangan dengan ajaran dan jiwa islam,
berasaskan darI Al-Qur’an dan Al-Hadits, diinterprestasikan oleh ulama
mujtahid.
e.
Ajaran Akhlak Islam meliputi segala segi kehidupan manusia berdasrkan asas
kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam tidak hanya mengajarkan tetapi
menegakkannya, dengan janji dan sangsi Illahi yang Maha Adil. Tuntutan moral
sesuai dengan bisikan hati nurani , yang menurut kodratnya cenderung kepada
kebaikan dan membenci keburukan.[1]
Dengan
demikian dapat ditegasakan disini bahwa dasar dari akhlak islam secara global
hanya ada dua yakni: Percaya adanya Tuhan dan percaya adanya hari kemudian/
pembalasan, sebagai disebutkan oleh Abul A’la Maududi bahwa system moral/akhlak
ada yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati.
Dalam
islam, budi pekerti merupakan refleksi iman dari seseorang sebagai contoh(suri
tauladan) yang pas dan benar ialah Rasullah Saw. Beliau memiliki akhlak yang
sangat muia, agung dan teguh. Sehingga tidak mustahil kalau Allah memilih
beliau sebagai pemimpin umat manusia.
“Akhlak”
di dalam iajaran islam sangat rinci, berwawasan multi dimensial bagi kehidupan,
sistematis dan beralasan realitas. Juga “Akhlak” banyak dibicarakan tentang
konsekuensi yang bagi manusia yang tidak berpegang pada “ akhlak islam”.
“Akhlak
islam” bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia
dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental. Tujuan berakhlak yang
baik untuk mendapatkan kebahagiann di dunia dan akhirat. Dua simbolis tujuan
inilah yang diidamkan manusia bukan semata berakhlak secara islami hanya
bertujuan untuk kebahagiaan dunia saja.
Dalam
ajaran Islam memelihara terhadap sifat terpuji. Dan ada cirri-ciri akhlak
islamiyah yaitu:
1.
Kebajikan yang mutlak
Islam menjamin
kebajikan mutlak. Karena Islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin
kebaikan yang murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan,
dan waktu bagaimanapun. Sebaliknya akhlak yang diciptakan manusia, tidak dapat
menjamin kebaikan dan hanya mementingkan diri sendiri.
2.
Kebaikan yang menyeluruh
Akhlak islami
menjamin kebaikan untuk seluruh manusia. Baik segala jaman, semua tempat, mudah
tidak mengandung kesulitan dan tidak mengandung perintah berat yang tidak
dikerjakan oleh umat manusia di luar kmampuannya. Islam menciptakan akhlak yang
mulia, sehingga dapat dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima
akal yang sehat.
3.
Kemantapan
Akhlak
Islamiayah menjamin kebaikan yang mutlak dan sesuai pada diri manusia. Ia
bersifat tetap, langgeng dan mantap, sebab yang menciptakan Tuhan yang
bijaksana, yang selalu memliharanya dengan kebaikan yang mutlak. Akan tetapi
akhlak/etika ciptaan manusia bersifat berubah-rubah dan tidak selalu sama
sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam satu jaman atau satu bangsa. Sebagai
contoh aliran materialism, hati nurani dana lain sebagainya.
4.
Kewajiban yang dipatuhi
Akhlak yang
bersumber dari agama Islam wajib ditaati manusia sebab ia mempunyai daya
kekuatan yang tinggi menguasai lahir batin dan dalam keadaan suka dan duka,
juga tunduk pada kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang
kepadanya. Juga sebagai perangsang untuk berbuat kebaikan yang diiringi dengan
pahala dan mencegah perbuatan jahat, karena takut skan siksaan Allah SWT.
5.
Pengawasan yang menyeluruh
Agama islam
adalah pengawas hati nurani dan akal yang sehat, islam menghargai hati nurani
bukan dijadikan tolak ukur dalam menetapkan beberapa usaha. Firman Allah dalam
surat Al-Qiyamah: 1-2 ; yang artinya: “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan
aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.
2.3 Akhlak
islami dalam kaitannya dengan status pribadi
Dibagian ini kami akan menjelaskan “Akhlak islami” yang mengatur dan membatasi
kedudukan (satus) pribadi sebagai:
- Hamba Allah
- Anak
- Ayah/ibu
- Anggota masyarakat
- Jama’ah
- Da’i/Muballigh
- Pemimpin
Dengan demikian
“akhlak islami” mengarah kepada status pribadi yang berada pada kelompok social
yang beraneka ragam. Fungsi, peran dan bagaimana semestinya berperilaku pada
posisi(kedudukan) dalam kelompok sosial tersebut, dengan adanya “akhlak Islami”
dapat dihindari (pola hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan kholiqnya) keliruan bertindak.
1.
Pribadi sebagai Hamba Allah
Kenyataan
di jagad raya (dunia) membuktikan bahwa ada kekuatan yang tidak Nampak. Dia
mengatur dan memelihara alam semesta ini.Juga Dialah yang menjadi sebab adanya
semua ini. Dalam pengaturan alam semesta ini terlihat ketertiban, dan ada suatu
peraturan yang berganti-ganti dan gejala dating dengan keteraturan-Nya.
Semua
kenikmatan tersebut, bukan berarti “ Sang Pencipta mempunyai maksud kepada manusia
supaya membalas dengan sesuatu, itu tidak, tetapi Allah SWT.memerintahkan
manusia agar senantiasa beribadah kepada-Nya.
Hubungan
manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk dengan kholiknya. Dalam masalah
ketergantungan , hidup manusia selalu mempunyai ketergantungan kepada yang
lain. Dan tumpuan serta pokok ketergantungan adalah ketergantungan kepada yang
Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah
Allah Rabul ‘alamin, Allah Tuhan Maha Esa.
Ketergantungan
manusia kepada Allah ini, difirmankan Allah:
اللهُ
الصَّمَدُ{الإخلاص:2}
Artinya:
“Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”.(QS.Al-Ikhlas:2)
Kalau di dalam
sesuatu hal dalam hidup sehari-hari untuk mencapai suatu tujuan tergantung
kepada “Sesuatu”, maka kita harus memperhatikan ketentuan dari “Sesuatu” itu
agar tujuan kita tercapai. Memenuhi ketentuan “Sesuatu” itu adalah sesuatu
keharusan bagi kita.
Kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat, tergantung kepada izin dan ridha Allah. Dan untuk
itu Allah memberikan ketentuan-ketentuan agar manusia dapat mencapainya. Maka
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat itu dengan sendirinya kita harus
mengikuti ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.
Dari segi
kemanusiaan, sebagai manusia yang normal yang mempunyai sifat kemanusiaan,
harus tahu berterima kasih kepada segala pihak yang telah memberikan jasa. Kita
akan disebut orang yang “ tak tahu diri”, kalau kita ditolong oleh seseorang,
kemudian orang itu tidak kita terima kasih apalagi malah orang itu kita marahi.
Kalau kita
ditolong oleh orang lain dalam hidup kita ini, maka sewajarnyalah kalau kita
berterima kasih kepada orang yang telah member pertolongan itu.
Maka akan
timbul di dalam hati bagaimana dapat membalas jasa atau membalas budi kepada
orang yang telah member pertolongan itu. Maka akan timbul di dalam hati
bagaimana dapat membalas jasa atau membalas budi kepada oaring yang telah
member tolong itu tadi. Kalau tidak dapat dapat memberikan balasan budi yang
sepadan, sekurang-kurangnya akan mengatakan terima kasih dengan perbuatan yang
hormat, menunjukkan betapa berterima kasihnya dan keinginan membalas budi
walaupun tidak terbalas oleh dirinya, dia mengharapkan mudah-mudahan dibalas
kebaikannya itu dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah.
Kalau kita
diberi sesuatu sebagai hadiah oleh seseorang, yang hadiah itu sangat bermanfaat
bagi kita,tentu kita akan senang dan berterima kasih kepada orang yang member
it. Malah timbul kehendak ingin membalas kebaikannya orang itu dengan sesuatu
yang berharga baginya.
Sifat berterima
kasih kepada orang yang telah berjasa kepada dirinya adalah sifat kemanusiaan,
yang sesuai dengan bisikan hati nurani setiap orang.Dari tindakan moral inilah
kemudian timbul adat-istiadat, sopan-santun dan tata susila.
Karena itulah
kiranya sangat wajar dan seharusnya, apabila setiap anak harus hormat dan
berbudi baik kepada orang tuanya, seseorang harus berbudi baik kepada temannya.
Seorang atasan harus berterima kasih dan berbudi kepada bawahannya, karena
bawahannya telah memberikan bantuan kelancaran programnya. Bawahan harus
berterima kasih dan berbudi baik kepada atasannya karena bimbingan dan
kebijaksanaannya. Apa yang telah kita terima dari Allah SWT. Sungguh tak dapat
dihitung dan tak dapat dinilai dengan materi banyaknya. Dan kalau kita mau
menghitungnya, karena terlalu amat sangat banyaknya. Firman Allah:
وَاِنْ
تَعْدُّوْا نِعْمَةَ اللِه لَا تُحْصُوْهَا اِنَّ اللهَ لَغَفُوْرُ رَحِيْمٌ
{النخل:18}
Artinya:
“Dan jaika kamu
menghitung-hitung nikamat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi maha Penyayang”.
(QS.An-Nahl:18)
Secara moral
manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai kholiknya, yang
telah member kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
Pada garis
besarnya kewajiban manusia kepada Allah menurut hadits Nabi, yang diriwayatkan
dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi Saw. Bersabda kepada Mu’
كُنْتُ
رِدْفَ النَّبِى صَلَى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عَلَى حِمَارِ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ
فَقَالَ : ياَ مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِىْ حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقَّ
اْلعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ ورَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ : فَإِنَّ
اللهِ عَلَى الْعِبَادِ اَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَايُشْركُوا بِهِ شَيْأً وَحَقُّ
العِبَادِ عَلَى اللهِ اَنْ لَايُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكَ بِهِ شَيْأً , قُلْتُ
: يَا رَسُولَ اللهِ ! اَفَلَا اُبَشِّرُ بِهِ النَّاسِ؟ قَالَ : لَا
تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
Artinya:
“Adalah aku
duduk di belakang Nabi di atas sebuah keledai yang dinamai Ufair, maka bersabda
Nabi: Hai Mu’adz apakah engkau mengetahui hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak
engkau mengetahui hak hamba terhadap Allah? Menjawab aku, Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui. Bersabda Nabi: maka bahwasanya hak Allah atas para
hamba, ialah : Mereka menyembah-Nya dan tidak memperserikatkan Dia dengan
sesuatu dan hak para hamba terhadap Allah, Tiada Allah mengadzabkan orang yang
tidak memperserikatkan Dia dengan sesuatu. Mka berkata aku, ya Rasullah, apa
tidak lebih baik saya menggembirakan para manusia dengan dia? Bersabda Nabi,
jangan kamu menggembirakan mereka yang menyebabkan mereka akan berpegang kepada
untung saja”.
(Al-Lu’la uwal
Marjan I:8)
Jadi
berdasarkan hadits ini kewajiban manusia kepada Allah pada garis besarnya ada
2( dua):
- Mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrikkan-Nya kepada sesuatupun.
- Beribadah kepada-Nya.
Orang yang
demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi
pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat sampai
tujuh ratus kali lipat bahkan dengan lipat ganda yang tak terduga banyaknya
oleh manusia.
2.
Pribadi sebagai Anak
Ketika nabi
Ibrahim masih kecil, berdialog kepada ayahnya tentang Tuhan. Dan kesimpulannya
bahwa Tuhan telah member petunjuk kepada manusia bahwa memperTuhan benda adalah
sangat keliru.
Dengan
demikian, dunia anak sangat penting diperhatikan. Apabila keliru dalam mendidik
akhlak anak, bias jadi dunia anak akan tidak mengenal akhlak yang lebih lanjut
anak akan melakukan perbuatan yang abnormal kriminalitas dan lain sebagainya.
Contoh dalam pendidikan akhlak, apabila anaka-anak sekolah berdusta di dalam
segala apa yang mereka bicarakan, didukung para gurunya berdusta juga di dalam
mengajar dan segala pembicaraannya, maka masyarakat (anak-anak) tidak dapat
berujud. Dan apabila dunia anak terancam demikian, masyarakat yang akan dating
tidak dapat berwujud karena adanya tiap-tiap yang dibicarakan menjurus dusta.
Dan yang membekas dan berwujud pada masyarakat yang merusak dan rendah
martabatnya.
Maka model
mendidik akhlak anak, tidak langsung berkata itu baik, atau itu buruk, apabila
seorang anak baru saja belajar membaca, menurut kita itu jelek/buruk namun kita
tidak seharusnya berkata demikian. Sebab dapat menyakiti hati dan patah
semangat. Tetapi kita beri semangat dan dorongan yang dapat memacu dan
bergiatnya si anak.
Selain daripada
itu, kisah luqman yang diberi hikmah oleh Allah. Hal ini dijelaskan di dalam
surat Luqman: 12:
وَلَقَدْ
اَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرُ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ {لقمان:12}
Artinya:
“Dan
sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada
Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”.
(QS.Luqman: 12)
Kelanjutan
kisah Luqman yang termuat dalam ayat di atas, bahwa beliau menasehati dan
member pesan kepada generasi selanjutnya (anak-anak) untuk mewarisi nilai-nilai
akhlak sebagai berikut:
- Dilarang berbuat syirik (Menyekutukan) Allah (Luqman: 13)
- Kewajiban berbakti kepada kedua oaring tua (Luqman: 14)
- Keharusan tetap berbakti kedua orang tua di dunia(Luqman: 15)
- Perintah menegakkan sholat, amar ma’ruf, nahi munkar dan sabar (Luqman: 17)
- Tidak bersikap sombong, angkuh dan membanggakan diri sendiri (Luqman: 18)
- Perintah bersikap sopan, santun dalam berjalan atau berbicara (Luqman: 19)
3.
Akhlak Pada Ayah dan Ibu
Betapa berat tangguangan seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau
sudah dating waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa
raga dan tenaga si ibu melahirkan jabang bayinya dengan harap-harap cemas.
Berharap agar si bayi yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaannya sebagai
manusia sempurna anggota badannya, seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam
keadaan yang wajar baik jasmani maupun rohaninya. Cemas kalau-kalau jabang
bayinya tidak normal baik jasmani dan rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang
tidak diinginkannya. Di samping itu derita jasmani si ibu menahan dikala
melahirkan jabang bayinya tersebut.
Setelah jabang
bayinya lahir, betapa kasih saying si ibu kepada anaknya, seakan-akan segala
yang ada pada si ibu adalah untuk anaknya. Jiwa, raga perhatian, kasih saying
semuanya ditumpahkan untuk si jabang bayi itu, agar si bayi selamat sentosa
dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata sanjung dan manjaan, kata
timang yang mengandung doa dan harapan meluncur dicurahkan untuk si bayi,
semoga kelak menjadi manusia yang ideal.
Mengapa
demikian besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Padahal sewaktu belum
mengandung seakan belum mau mempunyai anak. Atau karena anaknya sudah dua tiga
ingin tidak ada yang keempat. Tetapi karena dikarunia Tuhan anak yang
selanjutnya kasih saying ibu tidak ada bedanya antar kepada yang pertama yang
kedua dan seterusnya.
Dari mana
datangnya cinta kasih saying kepada putranya, padahal tiada pamrih. Lain dengan
cinta seorang kekasih kepada pacarnya, yang kalau kasihnya tiada terbalas bias
berbalik menjadi benci. Tetapi kasih ibu bagaimanapun tiada akan berubah dan
hilang, walaupun si anak tiada membalas kasih dan cinta ibu.
Memang itu
kareana “Hidayah”, anugerah dari pada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Hidayah itu tersebut insting atau naluri, dalam ilmu agama disebut
“Hidayah-ghariziyyah”.
Beberapa
perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak kepada
Orang tua yakni:
a.
Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, Walaupun keduanya Lalim
Seorang anak menurut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan
ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai seorang anak samapai
menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tuanya berbuat
lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan
sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas atau mengimbangi
ketidakbaikan orang tua kepada anaknya. Allah tidak meridhoinya sehingga orang
tua itu meridhoinya.
b.
Berkata Halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah
Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran islam harus
berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan kata-kata mulia hal ini
dituturkan dalam Firman Allah:
وَقَضَى
رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْا اَلَّا اِيَّاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ اِحْسَانَا اِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكَبِرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا
اُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذَّلِّ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى
صَغِيْرًا {الاسراء: 23-24}
Artinya:
“Dan Tuhan
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya dan
hendaknya kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu dengan seabaik-baiknya. Jika
salah satu dari keduanya atau kedua-duanya samapi berumur lanjut dalam
pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh
kesayangan dan ucapakan doa:”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka kedua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.”
(QS.Al-Isra: 23-24)
Dari ayat-ayat
tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat
baik kepada orang tua baik berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak
menyinggung perasaan orang tua dan tidak berkata kasar kepada mereka.
c.
Berbuat baik kepada Ibu dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan
ayah masih hidup, si anak berkewajiban berbuat baik, dan itu mudah dilakukan
dengan berbagai macam cara, baik yang bersifat moaral, maupun yang bersifat
material.
Bagaimana
berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Hal ini
agama islam mengajarkan supaya seorang anak:
a.
Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari
segala dosa orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ
اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا
b.
Menepati janji kedua ibu bapak, Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji
kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji
tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya.
Maka kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan
hal ini diperbolehkan menurut hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas:
اَنَّ
امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ
فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ
أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ : نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى
اُمِّكَ دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ
{رواه البخارى}
Artinya:
“Bahwa seorang
perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah:
Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai
meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah:”ya,
hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau seandainya ibu mempunyai hutang, apakah
engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah
lebih berhak untuk ditepati!”
c.
Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Di waktu hidupnya ibu dan ayah,
beliau-beliau mempunyai teman-teman akrab, yang segulung-segalang orang tua
kita dengan temannya.
d.
Bersilaturrahmi kepada orang-orang
yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.
4.
Akhlak kepada Anggota Masyarakat/ Jama’ah
Pokok utama
kerasulan nabi Muhammad Saw adalah menyempurnakan akhlak yang mulia. Mencakup
semua bentuk sikap dan perbuatan yang terpuji dikalangan orang-orang
(masyarakat) yang bertaqwa. Di samping terpuji berdasarkan norma-norma yang
ditetapkan Allah SWT.
Akhlak mulia
merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur Al-Qur’an dan
perbuatan nabi Muhammad Saw. Dalam sikap dan perbuatan. Seperti di dalam
Al-Qur’an surat l-Qalam ayat 4.”Dan sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai
akhlak yang mulia”.
Dengan demikian
setiap muslim diwajibkan untuk memlihara norma-norma (agama) di masyarakat
terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat,
tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
Tolong-menolong
untuk kebaikan dan takwa kepada Allah adalah perintah Allah, yang dapat ditarik
hokum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara yang sesuai dengan keadaan
objek orang bersangkutan, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah, ayat
2:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى البِرِّى وَالتَّقوَى وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الِاثْمِ وَالعُدْوَانِ
{المائدة:2}
Artinya:
… dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan”.
Dalam pergaulan
yang sesuai dengan norma-norma agama, ada beberapa yang harus di perhatikan
yakni bagaimana cara berbahasa, cara salam, cara makan dan minum, cara di
majles pertemuan, cara minta ijin masuk, cara member ucapan selamat, cara
berkelakar atau becanda, cara menjenguk orang sakit, dan cara ta’ziah. Dan
kesemnilan tata cara diatas akan diterangkan secara terperinci di bawah ini:
a.
Tata cara berbahasa
Setiap muslim
(umat islam) dan semua orang diperintah untuk selalu berbahasa dengan bahasa yang
jelas dan baik, bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara, sesuai tingkat
usia, masyarakat dan tingkat kedudukannya. Di dalam islam ada peribahasa yang
menyatakan bahwa “bahasa menunjukkan taqwa”.
b.
Tata cara salam
Setiap
masyarakat, agama atau bangsa memiliki tata cara member salam, sebagaimana juga
dengan islam. “Salam” telah menempati kedudukan sendiri dalam Islam. Lebih
istimewa disbanding dengan agama di luar Islam.
Sebagaimana
landasan salamdi dalam firman Allah surat An-Nur ayat 27:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang buka rumahmu
sebelum meminta ijin dan member salam kepada penghuninya. Yang demikian itu
lebih baik bagimu agar kamu(selalu) ingat”.
(QS.An-Nur: 27)
c.
Tata cara makan dan minum
Cara memegang
sesuatu makanan dan minuman dengan tangan kanan. Dimulai membasuh sebelum
makan, membaca “basmallah” dan diakhiri mengucapkan “Alhamdulillah”. Sikap yang
dimiliki oleh orang yang sedang makan dan minum adalah dengan duduk yang baik.
Tanpa bersuara, tanpa bersandar sambil makan dan minum. Apabila sifatnya
undangan bagi yang mengundang mempersilahkan dengan bahasa yang sopan. Dan bagi
yang diundang dengan menyambut yang baik, mendoakan si pengundang, mendahulukan
orang yang lebih tua, jangan mencaci hidangan yang ada di depannya, walaupun
tak berselera.
Dalam adab
minum, tidak boleh menggunakan peralatan dari emas dan perak, jangan menarik
nafas dan menghembuskan kembali ke dalam cangkir. Apabila menggunakan kendi
(dan sejenisnya) tidak boleh melekat pada mulut di bibir kendi.
d.
Tata cara di majelis pertemuan
Bagaimana adab
kita berada di majles pertemuan? Jawabannya adalah pertama kali baru masuk
member salam, kemudian baru dapat duduk yang telah disediakan, menyalami teman
yang mendahului duduk, jangan sekali-kali menggeser tempat duduk milik orang
lain. Di samping itu juga jangan menggunakan bahasa yang dapat menyinggung
perasaan teman duduk. Ketika ingin meninggalkan tempat minta ijin, juga bila ke
luar membaca doa kifaratul majelis.
e.
Tata cara minta ijin masuk
Di dalam
masyarakat dan Negara ada aturan-atauran tertentu baik ijin masuknya, waktu
maupun prosedurnya bagi setiap orang yang ingin memasuki kamar, rumah orang
lain atau Negara.
Aturan Islam
bagi seseorang yang ingin masuk rumah orang lain, maka paling awal yang
dilakukan adalah member salam. Apabila tidak baik kembali. Di dalam mengetuk
pintu dilakukan secara wajar, menyatakan nama diri. Tidak boleh berdiri tepat
di tengah-tengah pintu ketika dibukakan. Apabila ditolak tidak boleh sedih hati
namun harus dikendalikan dengan hati yang bersih.
f.
Tata cara member ucapan selamat
7(tujuh)
rangkaian(munasabah) yang ada dalam islam ketika mengucapkan salam “ucapan
salam”. Ketujuh rangkaian tersebut antara lain:
a.
Dalam rangka acara pernikahan
b.
Dalam rangka kelahiran seorang bayi kepada ibunya
c.
Kembalinya seorang musafir (yang berpergaian)
d.
Pulangnya seorang dari jihad
e.
Sekembalinya dari haji
f.
Pada hari raya idul fitri dan idul adha
g.
Ketika seseorang mendapat kenikmatan tertentu seperti kenaikan pangkat,
mendapat hadiah apa saja yang membuat seseorang merasakan kebahagiaan.
Ketujuh peristiwa pada waktu dan suasana pemberian “ucapan selamat” tersebut
telah ditentukan cara bagaimana member ucapan selamat (sebagaimana keterangan
b).
g.
Tata cara bekelar
Di dalam ajaran
Islam, berkelar atau becanda diperbolehkan. Namun hal itu bukan berarti bebas,
sesuka hati, sehingga tak ingat norma social. Ada tiga syarat diperbolehkan
bercanda yaitu:
a.
Tidak boleh berlebih-lebihan sehingga menjadikan lupa kepada Allah
b.
Tidak boleh berkelar sehingga menyakiti baik yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah seperti ucapan hinaan.
c.
Tidak bersifat dusta atau penipuan dan kata-kata kotor.
h.
Tata cara menjenguk orang sakit
Seseorang yang
hidup di masyarakat, mau mengunjungi orang sakit tetangganya (jamaah) adalah
suatu tindakan terpuji. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan, dalam kunjungan
orang sakit yaitu:
a.
Segera mungkin setelah ada orang sakit
b.
Mengungkapkan dengan kata-kata yang meringankan beban batinnya orang yang sakit.
c.
Ajarkan doa peringan perih pada bagian tubuh
d.
Mendoakan secara khusus bagi si sakit ketika masuk
e.
Duduk agak dekat dengan kepala si sakit
f.
Mintalah ia mendoakan kita
g.
Bila sudah gawat ajari si sakit dengan kalimat tauhid dan bacaan surat yasin.
i.
Tata cara ta’ziah
Ta’ziah
dilakukan jamaah (masyarakat) dalam rangka meringankan beban lahir batin bagi
keluarga yang ditimpa musibah. Mka sikap dan tindakan tersebut bermaksud untuk
menentramkan hati mereka. Menurut ajaran islam, tata cara ta’ziah atara lain:
a.
Mengucapkan perkataan yang pernah diucapkan oleh nabi Saw. Dan para sahabatnya.
b.
Member makan keluarga yang terkena musibah
c.
Menunjukkan rasa belasungkawa
d.
Member nasehat yang baik.
5.
Akhlak Da’I/ Mubaligh
Telah jelas
ujian bagi penyebar agama islam yang paling hebat adalah para nabi. Kemudian
orang-orang saleh, para Da’i/ mubaligh yang menyeri atau mengangguk manusia
untuk mentauhidkan Allah dan ikhlas dalam beribadah.
Dalam
mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para
nabi dalam dakwah, maka para nabi harus membekali diri dengan akhlakul karimah.
Sebab Da’i/mubaligh di masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung. Baik
perilaku, sikap perbuatan maupun perkataannya.
Jalan yang
harus ditempuh selanjutnya, da’I harus berusaha terus membersihkan jiwa. Segala
apa yang mengganjal, menutup dan tersembunyi di hati nurani, Da’I harus
berusaha juga menerangi segala rahasia dirinya. Dan senantiasa mohon petunujuk
dan pertolongan dari Allah. Dengan demikian dirinya menjadi baik atas kuasa
Allah SWT.
Para Da’i
memiliki ilham yang man merupakan martabat yang tinggi dalam dirinya yang
selalu menghubungkan dengan Allah. Di dalam hati Da’I ada bisikan-bisikan yang
benar yang berada pada lisannya karena tergisik dari hati yang bersih.
Menurut Jamludin Kafie, sebagai Da’I, pelaksana dakwah harus memperhatikan
prinsip-prinsip kemimpinan yang baik yaitu:
a.
Sifat terbuka
b.
Berani berkorban
c.
Aktif berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat
d.
Sanggup menjadi pelopor dan perintis dalam kebajikan
e.
Mengembangkan sifat-sifat kooperatif, kemusiaan dan sikap-sikap toleransi,
kebijaksanaan dan keadilan social
f.
Tidak menjadi parasit atau membebani masyarakat
g.
Percaya diri dan yakin akan kebenaran yang dibawanya
h.
Optimis dan tidak putus asa[2]
Dengan demikian sikap Da’I harus memahami kondisi dan situasi masyarakat yang
menjadi sasarannya. Juga perlu terus menambah wawasannya. Kerena beraneka ragam
budaya , kompleksitas permasalahan di masyarakat.
6.
Akhlak Pemimpin
Tugas pemimpin tidak ringan. Tanggung jawab yang ia pikul senantiasa
bernafaskan amanat. Baik amanat dari masyarakat/ warga atau Negara. Bahkan
agama. Agama islam sangat memperhatikan masalah kepemimpinan. Menurut Islam.
Semua pemimpin akan dimintai pertanggung jawabnya. Pemimpin keluarga
bertanggung jawab atas kebahagiaan, kesejahteraan keluarganya, pemimpin
Negara/bangasa akan dimintai pertanggung jawabnya oleh masyarakat dan lain
sebagainya.
Sebagai contoh seorang pemimpin sejati adalah Rasullah Saw dan para sahabatnya
seperti Abu bakar sebagai orang yang berwibawa dan tenang. Oerangnya penuh
ramah tamah, cinta sesama dan selalu membenarkan dan menepati pada rasul yang
agung. Umar bin khotob sebagai pemimpin yang mempunyai pendapat yang berbobot.
Dia adalah orang yang terpercaya terhadap rahasia-rahasianya. Utsman sebagai
pengumpul firman Kitab Allah. Dia adalah seorang pemimpin yang meluruskan
akida. Sedangkan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang pandai menyusun
pasukan perang untuk mengalahkan orang-orang jahat. Dan Ali adalah seorang
pemimpin yang mampu sebagai pewaris ilmu rasullah dan pemelihara janjinya.
Demikianlah akhlak pemimpin yang dicontohkan kepada kita untuk menjadi pemimpin
sejati. Akhlak pemimpin baik, sebab sifat, perilaku dan sikapnya dapat
membahagiakan orang lain (umat manusia) dan menampakkan karismatiknya pada yang
dipimpin, jadi dapat dikemukakan di sini, bahwa pemimpin berakhlak baik apabila
memiliki kepribadian yang sesuai dengan tata aturan (ketentuan) agama,
masyarakat, keluarga dan Negara/bangsa.
7.
Akhlak Mahmudah dan Mazmumah
Ada 2 (dua) penggolongan akhlak secara garis besar yaitu: akhlak
mahmudah(fadilah) dan akhlak mazmumah(qabihah). Di samping istilah tersebut
Imam Al-Ghazali menggunakan juga istilah “munjiyat” untuk akhlak mahmudah dan
“muhlihat” untuk yang mazmumah.
Di kalangan
ahli tasawuf, kita mengenal system pembinaan mental, dengan istilah: Takhalli,
tahalli dan tajalli.
Takhalli adalah
mengosongkan atau membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, karena
sifat-sifat tercela itulah yang dapat mengotori jiwa manusia.
Dan tahalli adalah mengisi jiwa ( yang telah kosong dari sifat-sifat tercela)
dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).
Jadi dalam rangka pembinaan mental, pensucian jiwa hingga dapat berada dekat
dengan Tuhan, maka pertama kali yang dilakukan adalah pengosongan atau
pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, hingga akhirnya sampailah pada
tingkat berikutnya dengan apa yang disebut “tajalli”, yakni tersikapnya tabir
sehingga diperoleh pancaran Nur Ilahi.
Sedangkan yang
dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang
baik (yang terpuji). Sebaliknya segala macam sikap dan tingkah laku yang tercela
disebut dengan akhlak mazmumah. Akhlak mahmudah tentunya dilahirkan oleh
sifat-sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa manusia, demikian pula akhlak
mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat mazmumah. Oleh karena itu sebagaimana
telah disebutkan terdahulu bahwa sikap dan tingkah laku yang lahir adalah
merupakan cermin/ gambaran daripada sifat/kelakuan batin.
Beberapa akhlak mahmudah seperti bersikap setia, jujur, adil, pemaaf,
disenangi, menepati janji, memelihara diri, malu, berani, kuat, sabar, kasih
sayang, murah hati, tolong menolong, damai, persaudaraan, menyambung tali
persaudaraan, menghoranati tamu, merendahkan diri, berbuat baik, menundukkan
diri, berbudi tinggi, memlihara kebersihan badan, cenderung kepada kebaikan,
merasa cukup dengan apa yang ada, tenang, lemah lembut, bermuka manis,
kebaikan, menahan diri dari berlaku maksiat, merendahkan diri kepada Allah,
berjiwa kuat dan lain sebagainya.
Sedangkan yang termasuk dalam akhlak mazmumah, antara lain; egoistis, lacur,
kikir, dusta, peminum khamr, khianat, aniaya, pengecut, aniaya, dosa besar,
pemarah, curang, culas, mengumpat, adu domba, menipu, memperdaya, dengki,
sombong, mengingkari nikmat, homosex, ingin dipuji, ingin didengar
kelebihannya, makan riba, berolok-olok, mencuri, mengikuti hawa nafsu, boros,
tergopoh-gopoh, membunuh, penipuan, dusta, berlebih-lebihan, berbuat kerusakan,
dendam, merasa tidak perlu pada yang lain dan lain sebagainya yang menunjukkan
sifat-sifat yang tercela[3]
[1]
Drs. Sahilun A. Nasir, Etika dan Problematikanya Dewasa ini, PT. Al-Ma’arif
Bandung, 1980, hal 98-99
http://citrariski.blogspot.com/2011/02/makalah-akhlak-islami.html